Rabu, 30 November 2016

Contoh Prestasi Alumni Jebe

"Prenjak" menang di Festiival Film Cannes

Jakarta (ANTARA News) - Film "Prenjak" karya sutradara muda Wregas Bhanuteja mendapatkan penghargaan Leica Cine Discovery Prize sebagai film pendek terbaik Semaine de la Critique Festival Film Cannes 2016.
"Teruntuk semua saudara, sahabat, dan keluarga kami di Indonesia. KAMI MENANG!," tulis Wregas melalui akun media sosial Instagram miliknya @wregas_bhanuteja dikutip di Jakarta, Jumat.

Prestasi tersebut bersejarah karena merupakan yang pertama kalinya diraih oleh film Indonesia.

Sutradara Joko Anwar melalui akun media sosialnya menyampaikan harapan agar kemenangan "Prenjak" mampu mendorong pembuat film Tanah Air untuk eksplorasi dengan berani.

"Jargon-jargon usang seperti film harus mendidik, harus punya pesan moral, harus ditinggalkan karena tiap film berikan pelajaran hidup. Seperti buku, film memperluas cakrawala berpikir, apapun yang dibicarakannya. Untuk bisa membebaskan pikiran, film juga harus terbebaskan," tulis Joko Anwar di akun Twitter miliknya, @jokoanwar.

Sebelumnya, film pendek berjudul "Prenjak" berhasil menjadi salah satu film terpilih dalam kategori bergengsi Semaine De La Critique Festival Film Cannes 2016, mengungguli 1.500 pendaftar.

Wregas, yang pernah belajar di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, menggarap film tersebut bersama kru yang sebagian besar merupakan teman-temannya ketika bersekolah di SMA Kolese de Britto, Yogyakarta, seperti Yohanes Budyambara dan Hosea Hatmaji yang menjadi aktor di film tersebut.

Film "Prenjak" bercerita tentang Diah (Rosa Winenggar) yang mengatakan kepada rekan kerjanya, Jarwo (Yohanes Budyambara), bahwa dia sedang membutuhkan uang Rp100 ribu.

Diah menawarkan kepada Jarwo satu batang korek api seharga Rp10 ribu. Dengan batang korek api tersebut, Jarwo diperbolehkan untuk melihat bagian tubuh Diah.

Selain "Prenjak", film Indonesia lain yang pernah lolos Semaine de la Critique pada 2015 adalah "The Fox Exploits the Tigers Might" karya Lucky Kuswandi.


Film karya sutradara Garin Nugroho juga tercatat pernah menapaki Festival Film Cannes, yaitu "Daun di Atas Bantal" dalam kategori Un Certain Regard tahun 1998.
 DeBritto Yang Tak Kenal Takut

Di atas tumpukan ribuan ton sampah Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Stevanus Sani Alexander (17) bisa merasakan nikmatnya nasi sayur berlauk kerupuk.     
Tumpukan sampah bau bercampur lalat, belatung, dan air lindi tak lagi menjijikkan.

Di titik itu Sani justru bisa merasakan betapa berharganya nilai perjuangan hidup. Dengan hanya berbekal sekantong tas keresek berisi tiga setel baju, Sani bersama 39 rekannya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Kolese De Britto, Yogyakarta, diberangkatkan menggunakan bus ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang untuk menjalani live in sosial selama seminggu, 24-30 Januari.

Sani dan teman sekelompoknya merupakan bagian dari 251 siswa SMA Kolese De Britto yang juga diterjunkan ke tempat-tempat asing, menantang, dan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Di TPA terbesar itu, mereka harus berbaur dan hidup bersama pemulung. Kenyamanan hidup di rumah yang telah dialami belasan tahun hilang seketika. Mereka harus larut dalam atmosfer hidup keras dan terkadang kejam.

”Di sana kami membantu pemulung mengumpulkan plastik. Satu kilogram plastik kotor dijual Rp 400, plastik bersih Rp 700. Petugas keamanan sempat melarang, memarahi kami, karena tak punya izin,” ucap Sani, sekembalinya ke Yogyakarta.

Di sana, mereka tidak bisa bersikap ”anak mama” karena harus mencari makan sendiri dari hasil kerjanya membantu pemulung. ”Saya bersama beberapa teman untuk mencari tambahan uang, tetapi hanya dapat Rp 1.000, selebihnya saya ditolak di mana-mana, rasanya sakit sekali. Ternyata, mencari uang tidak mudah,” ujarnya.

Pengalaman serupa dialami Cornelius Rikimadewa (17) yang mengalami secara langsung bagaimana para pemulung harus berjibaku dengan maut, bersaing mengais-mengais sampah di antara mesin ekskavator yang setiap waktu bisa menghantam tubuh mereka. Tak hanya itu, sesekali para pemulung juga bernasib sial tertancap tongkat gancu rekan-rekannya.

”Mencari uang tak hanya butuh keringat, tetapi kadang harus bertaruh nyawa,” ucap Riki.

Jauh di kolong Tol Teluk Gong, Jakarta Utara, Elang Sakra Abimantra (17) juga mengalami pengalaman yang jauh dari kehidupan kesehariannya. Setiap hari, ia harus berjuang jadi pemulung dan memilah sampah-sampah medis dari rumah sakit, mulai dari jarum suntik, botol infus, hingga kantong darah yang telah dikerubuti belatung karena membusuk.

Di lapak kumuh Teluk Gong, Elang juga merasakan betapa sulitnya mencari penghidupan. Tidur di bawah kolong jembatan layang, disitanya alat komunikasi, tak boleh bawa uang, sungguh sebuah penghayatan hidup yang sama sekali tak dibayangkan oleh anak-anak modern seperti Elang. ”Saya merasakan betul semangat dan daya juang para pemulung.”

Berbeda dengan pengalaman ketiga rekannya, siswa SMA Kolese De Britto lainnya, V Bimo Dwi Avianto (17), justru mendapat tugas live in di panti asuhan anak-anak berkebutuhan khusus Bhakti Luhur Malang, Jawa Timur. Bersama satu rekannya, setiap hari Bimo merawat tujuh anak berkebutuhan khusus.

”Kami merawat mulai dari memandikan, menggosok gigi, menyuapi, hingga bermain bersama mereka yang setiap saat air liurnya keluar dan tak bisa berbuat apa-apa. Saya yang dikaruniai fisik normal seharusnya lebih bersyukur,” kata Bimo.

Tahun 2011, cucu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusuma (18), juga pernah mengenyam pengalaman hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus di Panti Asuhan Bhakti Luhur Malang.

”Dibanding anak-anak panti yang dibuang orangtua mereka, hidupku ternyata jauh lebih beruntung. Aku sekarang bisa merasakan benar tetesan keringat perjuangan ibu yang perhatian terhadapku. Aku juga bisa lebih menghargai hidup, seperti dikatakan eyang kakungku, sebagai lelaki aku harus sembodo (berani menanggung risiko) dan mandiri dalam menghadapi tantangan dan kesulitan,” kata Marrel dalam refleksinya.

Tapal batas

Penanggung jawab live in sosial SMA Kolese De Britto, Pater L Bagus Taufik Dwiko NP SJ, mengatakan, kisah-kisah hidup di lingkungan baru yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari siswa-siswa diharapkan mampu memunculkan pengalaman—tapal batas kehidupan di hati para siswa.

”Pengalaman ini memancing emosi siswa. Pada situasi dan kondisi yang berbalik dengan kehidupan sehari-hari, hanya ada dua kemungkinan, yaitu mereka akan mendobrak kelemahan atau justru mengikuti kelemahan.

”Jadi mereka benar-benar kita tempatkan di tapal batas kehidupan, yaitu pilihan hidup,” kata Pater Dwiko.

Pater Dwiko selaku penggagas kegiatan ini sempat disomasi karena kegiatan ini dinilai tidak manusiawi. ”Namun, orang tua akhirnya sadar setelah mengetahui perubahan signifikan pada diri anak-anak mereka pasca-kegiatan live in sosial,” kata koordinator live in sosial, Ig Kingkin Teja.

Guru pendamping siswa, J Sumardianta, menyatakan, potensi manusiawi anak diharapkan muncul dalam live in sosial ini.


Oleh : A Budi Kurniawan

Jumat, 25 November 2016



Maksud Kebebasan Yang di Anut Oleh SMA Kolese De
 Britto


SMA Kolese De Britto adalah sebuah sekolah menengah atas swasta katolik di Yogyakarta yang cukup terkenal, salah satunya karena kebebasan siswanya untuk berambut panjang. Walaupun gondrong tetapi siswanya tetap bertanggung jawab. “Bebas bertanggung jawab” katanya. SMA Kolese De Britto sendiri menerapkan suatu sistem pendidikan bebas, yaitu sebuah sistem pendidikan yang didasari oleh semangat kemanusiaan yang ingin diwujudkan oleh para Yesuit. Namun, apakah maksud dari pendidikan bebas itu sendiri? Apakah semata-mata hanya membiarkan siswa bebas melakukan tindakan apapun dan kemudian dengan mudah akan mempertanggungjawabkannya? Mari kita simak rangkuman tentang pendidikan bebas yang dibuat oleh beberapa siswa De Britto berikut ini

Kebebasan adalah karunia manusia yang paling luhur. Pada hakikatnya, manusia bebas dari paksaan dan bebas untuk memilih apa yang harus dilakukan.Namun kebebasan manusia dalam memilih harus dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Manusia harus sadar bahwa kebebasannya tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Penghayatan akan kebebasan itu tumbuh pada mereka yang ingin berjuang meraih kemerdekaan diri. Motivasi dari pendidikan bebas yang paling utama yaitu kebebasan yang timbul dari kesadaran diri manusia sebagai subjek. Maka kesadaran sebagai subjek tersebut harus dilatih dan dilengkapi agar dapat berkembang. Ekses atau kekeliruan pasti akan terjadi sebagai bagian dari kebebasan manusiawi.  Ketika hal itu mulai nampak maka harus dicari jalan keluarnya bersama-sama. Karena motivasi dan tanggung jawab itulah SMA Kolese De Britto berani memilih pendidikan bebas.

SMA Kolese De Britto memprioritaskan penghayatan kebebasan oleh para pendidik agar anak didik mampu menghayatinya juga guna mampu memilih arah hidupnya. Pendidik hanya mengarahkan peserta didik memperoleh jati dirinya. Sementara itu, peserta didik bebas memilih yang baik maupun tidak dengan tetap menyadari risiko dari pilihannya. Anak didik diberi kesempatan untuk mengembangkan kebebasannya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan bebas penting untuk pendewasaan anak didik. Kesadaran akan keselarasan pendidikan bebas akan makin matang dengan adanya konflik. Tujuan pendidikan bebas adalah menanamkan jiwa merdeka dan kesadaran diri pada anak didik agar kebebasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi, jelas bahwa tujuan dari pendidikan bebas adalah membantu siswa dalam menemukan jati dirinya. Ini merupakan kunci penting bagi perkembangan siswa khususnya dalam masa remaja. Siswa sendirilah yang menentukan pilihan-pilihannya dalam membuat suatu keputusan terlepas dari paksaan orang lain. Namun perlu disadari bahwa kebebasannya dalam bertindak tersebut haruslah memikirkan kebebasan orang lain juga. Dalam hal ini siswa dilatih untuk menyadari kebebasan dirinya dan juga orang lain. Inilah dinamika yang harus disadari oleh segenap siswa, bahwa setiap kali siswa melakukan tindakan yang benar maupun yang salah itu adalah sebuah proses dalam dirinya agar dapat berkembang. Dengan menyadari hal baik maupun kekeliruan yang dilakukannya itu siswa akan sadar bahwa itulah konsekuensi dari kebebasannya sehingga pada akhirnya karakter pemimpin sejati dapat terbentuk dalam diri siswa.


Itulah penjelasan mengenai pendidikan bebas yang diterapkan di De Britto. Semoga tulisan ini dapat meluruskan pandangan-pandangan yang keliru mengenai kebebasan siswa-siswa JB dan dapat bermanfaat bagi kita semua yang ingin menjadi pemimpin masa depan bangsa. Merdeka!

Kamis, 24 November 2016

ApaSih Yang Menarik Dari SMA Kolese De Britto


Kekompakannya 


SMA Kolese De Britto yang terkenal dengan prestasinya di bidang akademis dan bidang olahraga, tidak lepas dari peranan supporter supporter yang dengan setia mendukung SMA ini. Mulai dari sorakan hingga teriakan selalu menemani kemana De Britto berlombah. Pendukung setia ini biasa diberi nama JB Mania. Karena semuanya hampir pasti lelaki, terkadang membuat supporter lawan kocar kacir karena tidak terdengar suaranya. Selain lewat JB Mania kekompakan cah cah jb dapat dilihat dari kegiatan kegiatannya sehari hari yang kompak dan saling mendukung.

Setia Kawan

Selain kompak cah Jb itu juga terkenal akan kesetia kawanannya loh. Contohnya saja ketika ada yang saudaranya meninggal atau keluarganya. Banyak yang berbondong bonding untuk datang dan mengucapkan bela sungkawanya. Selain itu banyak lagi hal positif lain sepertia baksos yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa cah jb itu peduli dengan sekitar 
                                                                                                     
                                                                                                   Bebas 

Anak JB itu biasanya identik dengan apa sih, ya benar kebebasan. Tapi kebebasan yang seperti apa ada yang tau. Ya kebebasan bertanggung jawab. Kebebasan yang ditunjukkan ini bukan mengajar anak SMA Kolese De Britto untuk berbuat tidak baik. Kebebasan ini ialah mengajarkan siswa untuk memilih apa yang dia kehendaki sehingga dapat berguna bagi dirinya. Kebebasan di sini ialah bertindak benar dan sesuai sehingga tidak keluar jalur.

   









Visi dan Misi 

VISI

Pendidikan swasta katolik yesuit berkarakteristik unggul dalam mendidik siswa menjadi pemimpin pengabdi yang cakap, berhati nurani benar, dan berbela rasa.


MISI




1. Menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang unggul, bermutu, dan selalu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
2.  Mengembangkan komunitas pendidikan yang memberikan perhatian khusus kepada pribadi-pribadi yang jujur, adil, utuh, optimal, disiplin, mandiri, kreatif, gigih, cerdas, dan seimbang.
3. Membentuk siswa yang memiliki integritas, bertanggung jawab, berbela rasa, berkeadilan, memperlakukan sesama penuh hormat, serta menghargai keberagaman. 


NILAI-NILAI KOLESE DE BRITTO

1. KASIH

Nilai kristiani yang paling mendasar adalah kasih. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Menurut St. Ignasius, kasih itu harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada dengan kata-kata (LR 230). Atas dasar kasih itulah, pendidikan Kolese De Britto membentuk siswa (membentuk diri) menjadi pemimpin pengabdi yang baik, berbela rasa, dan setia. (bdk Mazmur 37:3-4) dan pejuang kebenaran, keadilan, kejujuran.


2. KEBEBASAN



Pendidikan Kolese De Britto mengutamakan kebebasan yang merupakan perwujudan kongkret dari nilai kebebasan anak-anak Allah (Rom. 8:21). Siswa dididik menjadi pribadi yang bebas dari belenggu gengsi, sikap materialistis, dan kecenderungan mengikuti arus. Sebagai manusia yang bebas, siswa dididik sehingga mampu bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya, memperlakukan sesama penuh hormat, berempati terhadap orang miskin dan peduli terhadap permasalahan lingkungan hidup.

3. KEBERAGAMAN

Pendidikan Kolese De Britto dilaksanakan dalam suatu komunitas yang terdiri dari aneka ragam suku, budaya, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi. Siswa dibantu untuk berkembang menjadi manusia dewasa yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan, menghargai keberagaman, peduli terhadap persoalan radikalisme agama. Ditegaskan oleh Pater Jenderal Nicolas Adolfo, S.J., bahwa  pendidikan kita bukan kompetitor untuk sekolah unggulan, tetapi kita dapat melihat perbedaan dalam realitas dan dirinya sendiri.