DeBritto Yang Tak Kenal Takut
Di atas tumpukan ribuan ton sampah Tempat Pembuangan Akhir
Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Stevanus Sani Alexander (17) bisa merasakan
nikmatnya nasi sayur berlauk kerupuk.
Tumpukan sampah bau bercampur lalat,
belatung, dan air lindi tak lagi menjijikkan.
Di titik itu Sani justru bisa merasakan betapa berharganya
nilai perjuangan hidup. Dengan hanya berbekal sekantong tas keresek berisi tiga
setel baju, Sani bersama 39 rekannya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Kolese De
Britto, Yogyakarta, diberangkatkan menggunakan bus ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Sampah Bantar Gebang untuk menjalani live in sosial selama seminggu,
24-30 Januari.
Sani dan teman sekelompoknya merupakan bagian dari 251 siswa
SMA Kolese De Britto yang juga diterjunkan ke tempat-tempat asing, menantang,
dan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Di TPA terbesar itu, mereka harus berbaur dan hidup bersama
pemulung. Kenyamanan hidup di rumah yang telah dialami belasan tahun hilang
seketika. Mereka harus larut dalam atmosfer hidup keras dan terkadang kejam.
”Di sana kami membantu pemulung mengumpulkan plastik. Satu
kilogram plastik kotor dijual Rp 400, plastik bersih Rp 700. Petugas keamanan
sempat melarang, memarahi kami, karena tak punya izin,” ucap Sani, sekembalinya
ke Yogyakarta.
Di sana, mereka tidak bisa bersikap ”anak mama” karena harus
mencari makan sendiri dari hasil kerjanya membantu pemulung. ”Saya bersama
beberapa teman untuk mencari tambahan uang, tetapi hanya dapat Rp 1.000,
selebihnya saya ditolak di mana-mana, rasanya sakit sekali. Ternyata, mencari
uang tidak mudah,” ujarnya.
Pengalaman serupa dialami Cornelius Rikimadewa (17) yang
mengalami secara langsung bagaimana para pemulung harus berjibaku dengan maut,
bersaing mengais-mengais sampah di antara mesin ekskavator yang setiap waktu
bisa menghantam tubuh mereka. Tak hanya itu, sesekali para pemulung juga
bernasib sial tertancap tongkat gancu rekan-rekannya.
”Mencari uang tak hanya butuh keringat, tetapi kadang harus
bertaruh nyawa,” ucap Riki.
Jauh di kolong Tol Teluk Gong, Jakarta Utara, Elang Sakra
Abimantra (17) juga mengalami pengalaman yang jauh dari kehidupan
kesehariannya. Setiap hari, ia harus berjuang jadi pemulung dan memilah
sampah-sampah medis dari rumah sakit, mulai dari jarum suntik, botol infus,
hingga kantong darah yang telah dikerubuti belatung karena membusuk.
Di lapak kumuh Teluk Gong, Elang juga merasakan betapa
sulitnya mencari penghidupan. Tidur di bawah kolong jembatan layang, disitanya
alat komunikasi, tak boleh bawa uang, sungguh sebuah penghayatan hidup yang
sama sekali tak dibayangkan oleh anak-anak modern seperti Elang. ”Saya
merasakan betul semangat dan daya juang para pemulung.”
Berbeda dengan pengalaman ketiga rekannya, siswa SMA Kolese
De Britto lainnya, V Bimo Dwi Avianto (17), justru mendapat tugas live in di
panti asuhan anak-anak berkebutuhan khusus Bhakti Luhur Malang, Jawa Timur.
Bersama satu rekannya, setiap hari Bimo merawat tujuh anak berkebutuhan khusus.
”Kami merawat mulai dari memandikan, menggosok gigi,
menyuapi, hingga bermain bersama mereka yang setiap saat air liurnya keluar dan
tak bisa berbuat apa-apa. Saya yang dikaruniai fisik normal seharusnya lebih
bersyukur,” kata Bimo.
Tahun 2011, cucu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan
Hamengku Buwono X, Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusuma (18), juga pernah
mengenyam pengalaman hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus di Panti
Asuhan Bhakti Luhur Malang.
”Dibanding anak-anak panti yang dibuang orangtua mereka,
hidupku ternyata jauh lebih beruntung. Aku sekarang bisa merasakan benar
tetesan keringat perjuangan ibu yang perhatian terhadapku. Aku juga bisa lebih
menghargai hidup, seperti dikatakan eyang kakungku, sebagai lelaki aku harus
sembodo (berani menanggung risiko) dan mandiri dalam menghadapi tantangan dan kesulitan,”
kata Marrel dalam refleksinya.
Tapal batas
Penanggung jawab live in sosial SMA Kolese De Britto, Pater
L Bagus Taufik Dwiko NP SJ, mengatakan, kisah-kisah hidup di lingkungan baru
yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari siswa-siswa
diharapkan mampu memunculkan pengalaman—tapal batas kehidupan di hati para
siswa.
”Pengalaman ini memancing emosi siswa. Pada situasi dan
kondisi yang berbalik dengan kehidupan sehari-hari, hanya ada dua kemungkinan,
yaitu mereka akan mendobrak kelemahan atau justru mengikuti kelemahan.
”Jadi mereka benar-benar kita tempatkan di tapal batas
kehidupan, yaitu pilihan hidup,” kata Pater Dwiko.
Pater Dwiko selaku penggagas kegiatan ini sempat disomasi
karena kegiatan ini dinilai tidak manusiawi. ”Namun, orang tua akhirnya sadar
setelah mengetahui perubahan signifikan pada diri anak-anak mereka
pasca-kegiatan live in sosial,” kata koordinator live in sosial, Ig Kingkin
Teja.
Guru pendamping siswa, J Sumardianta, menyatakan, potensi
manusiawi anak diharapkan muncul dalam live in sosial ini.
Oleh : A Budi Kurniawan