Rabu, 30 November 2016

 DeBritto Yang Tak Kenal Takut

Di atas tumpukan ribuan ton sampah Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Stevanus Sani Alexander (17) bisa merasakan nikmatnya nasi sayur berlauk kerupuk.     
Tumpukan sampah bau bercampur lalat, belatung, dan air lindi tak lagi menjijikkan.

Di titik itu Sani justru bisa merasakan betapa berharganya nilai perjuangan hidup. Dengan hanya berbekal sekantong tas keresek berisi tiga setel baju, Sani bersama 39 rekannya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Kolese De Britto, Yogyakarta, diberangkatkan menggunakan bus ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang untuk menjalani live in sosial selama seminggu, 24-30 Januari.

Sani dan teman sekelompoknya merupakan bagian dari 251 siswa SMA Kolese De Britto yang juga diterjunkan ke tempat-tempat asing, menantang, dan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Di TPA terbesar itu, mereka harus berbaur dan hidup bersama pemulung. Kenyamanan hidup di rumah yang telah dialami belasan tahun hilang seketika. Mereka harus larut dalam atmosfer hidup keras dan terkadang kejam.

”Di sana kami membantu pemulung mengumpulkan plastik. Satu kilogram plastik kotor dijual Rp 400, plastik bersih Rp 700. Petugas keamanan sempat melarang, memarahi kami, karena tak punya izin,” ucap Sani, sekembalinya ke Yogyakarta.

Di sana, mereka tidak bisa bersikap ”anak mama” karena harus mencari makan sendiri dari hasil kerjanya membantu pemulung. ”Saya bersama beberapa teman untuk mencari tambahan uang, tetapi hanya dapat Rp 1.000, selebihnya saya ditolak di mana-mana, rasanya sakit sekali. Ternyata, mencari uang tidak mudah,” ujarnya.

Pengalaman serupa dialami Cornelius Rikimadewa (17) yang mengalami secara langsung bagaimana para pemulung harus berjibaku dengan maut, bersaing mengais-mengais sampah di antara mesin ekskavator yang setiap waktu bisa menghantam tubuh mereka. Tak hanya itu, sesekali para pemulung juga bernasib sial tertancap tongkat gancu rekan-rekannya.

”Mencari uang tak hanya butuh keringat, tetapi kadang harus bertaruh nyawa,” ucap Riki.

Jauh di kolong Tol Teluk Gong, Jakarta Utara, Elang Sakra Abimantra (17) juga mengalami pengalaman yang jauh dari kehidupan kesehariannya. Setiap hari, ia harus berjuang jadi pemulung dan memilah sampah-sampah medis dari rumah sakit, mulai dari jarum suntik, botol infus, hingga kantong darah yang telah dikerubuti belatung karena membusuk.

Di lapak kumuh Teluk Gong, Elang juga merasakan betapa sulitnya mencari penghidupan. Tidur di bawah kolong jembatan layang, disitanya alat komunikasi, tak boleh bawa uang, sungguh sebuah penghayatan hidup yang sama sekali tak dibayangkan oleh anak-anak modern seperti Elang. ”Saya merasakan betul semangat dan daya juang para pemulung.”

Berbeda dengan pengalaman ketiga rekannya, siswa SMA Kolese De Britto lainnya, V Bimo Dwi Avianto (17), justru mendapat tugas live in di panti asuhan anak-anak berkebutuhan khusus Bhakti Luhur Malang, Jawa Timur. Bersama satu rekannya, setiap hari Bimo merawat tujuh anak berkebutuhan khusus.

”Kami merawat mulai dari memandikan, menggosok gigi, menyuapi, hingga bermain bersama mereka yang setiap saat air liurnya keluar dan tak bisa berbuat apa-apa. Saya yang dikaruniai fisik normal seharusnya lebih bersyukur,” kata Bimo.

Tahun 2011, cucu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusuma (18), juga pernah mengenyam pengalaman hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus di Panti Asuhan Bhakti Luhur Malang.

”Dibanding anak-anak panti yang dibuang orangtua mereka, hidupku ternyata jauh lebih beruntung. Aku sekarang bisa merasakan benar tetesan keringat perjuangan ibu yang perhatian terhadapku. Aku juga bisa lebih menghargai hidup, seperti dikatakan eyang kakungku, sebagai lelaki aku harus sembodo (berani menanggung risiko) dan mandiri dalam menghadapi tantangan dan kesulitan,” kata Marrel dalam refleksinya.

Tapal batas

Penanggung jawab live in sosial SMA Kolese De Britto, Pater L Bagus Taufik Dwiko NP SJ, mengatakan, kisah-kisah hidup di lingkungan baru yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari siswa-siswa diharapkan mampu memunculkan pengalaman—tapal batas kehidupan di hati para siswa.

”Pengalaman ini memancing emosi siswa. Pada situasi dan kondisi yang berbalik dengan kehidupan sehari-hari, hanya ada dua kemungkinan, yaitu mereka akan mendobrak kelemahan atau justru mengikuti kelemahan.

”Jadi mereka benar-benar kita tempatkan di tapal batas kehidupan, yaitu pilihan hidup,” kata Pater Dwiko.

Pater Dwiko selaku penggagas kegiatan ini sempat disomasi karena kegiatan ini dinilai tidak manusiawi. ”Namun, orang tua akhirnya sadar setelah mengetahui perubahan signifikan pada diri anak-anak mereka pasca-kegiatan live in sosial,” kata koordinator live in sosial, Ig Kingkin Teja.

Guru pendamping siswa, J Sumardianta, menyatakan, potensi manusiawi anak diharapkan muncul dalam live in sosial ini.


Oleh : A Budi Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar